BINCANG SEJIWA EPISODE 21
“Berjuang di Wamena Menguatkan Karakter Siswa”
Minggu, 18 Oktober 2020
Narasumber:
- Lisna Hartati, S.Pd (Kepala Sekolah SD Negeri Wamena)
- Arianti, S.Pd (Kepsek Madrasah Islam Merasugun Asowalesi)
- Diena Haryana (Pendiri Yayasan SEJIWA)
- Doni Koesoema A (Pakar Pendidikan Karakter)
Dipandu oleh Elsya Sakillah (Staf Yayasan SEJIWA)
Pada episode ini, Bincang SEJIWA membahas tentang sekolah yang ada di timur Indonesia. Terdapat satu SD Negeri yang unik karena kebanyakan siswanya adalah para pendatang. Sedangkan satu sekolah lainnya merupakan sekolah madrasah yang kurang mendapat dukungan dari orangtua siswa karena mereka sendiri berpedidikan rendah, namun sekolah ini tetap bisa menanamkan nilai-nilai dan karakter baik pada anak.
Tahun 1984, Ibu Lisna (Lisna Hartati) pindah ke Wamena. Beliau pertama kali menjadi guru dan mengajar di sekolah yang jaraknya 12 km dari kota, dengan kondisi sekolah yang saat itu harus ditempuh dengan menapaki jalan setapak untuk sampai di sekolah atau dengan menaiki motor trail. Lalu pada tahun 2006, Ibu Lisna pindah mengajar ke SD Negeri Wamena, dan pada tahun 2012 Ibu Lisna dipercaya dinas pendidikan menjadi kepala sekolah di SD tersebut.
“Konon katanya, kalau pergi ke papua tanpa mampir ke Wamena itu berarti tidak ke Papua. Karena Wamena itu jantung kota papua. Lalu untuk SD Negeri Wamena ini unik, sekolah saya ini lebih senang saya sebut sebagai sekolah perantau. Karena banyaknya perantau, mungkin dari sabang sampai merauke juga ada disini, menjadi Indonesia kecil. Disini karena cukup unik, saat-saat tertentu saya sibuk mengeluarkan surat pindah sementara karena kepentingan dinas orang tua siswa. Pernah sekolah ini, siswanya yang mencapai 600 lebih siswa dalam satu sekolah.” (Lisna Hartati).
Ibu Lisna menuturkan terkait mengajarkan nilai-nilai di sekolah:
“Sebenarnya anak-anak tidak terpengaruh dari mana berasal, suku apa, agama apa. Jadi mereka main seperti biasanya. Kami mempunyai beberapa program yang ada kaitannya dengan karakter supaya kelak anak memiliki rasa nasionalisme, religius tinggi, dan toleransi tinggi. Kegiatan-kegiatan itu kita tidak pilah sesuai etnis dan agama tertentu, tetapi maka akan kami lebur biar membaur, seperti video tarian itu yang menari bukan asli dari papua, tapi juga dengan anak-anak lain yang perantau, juga dengan yang di video bermain drumband.
Selain kegiatan kesenian, di sekolah kami setiap hari sabtu ada program bina rohani, dengan adanya 4 agama, Katolik, Kristen, Islam dan Hindu. Pada hari sabtu itu, kami melaksanakan ibadah 15 menit sebelum belajar sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan masing-masing. Para siswa pun diajarkan nasionalisme dengan setiap agustus bergembira, merayakan HUT RI dengan beberapa event seperti karnaval dengan menggunakan pakaian adat yang mereka inginkan, misal anak Toraja memakai baju adat Wamena, jadi mereka lucu dengan menggunakan pakaian adat yang bukan suku nya. Juga untuk event peringatan hari besar nasional 21 April Hari Kartini, dan 4 Desember yang sebagai Hari Noken Sedunia. Noken ialah tas asli Wamena, dulu terbuat dari kulit kayu, sekarang dibuat dari benang. Semua itu tujuannya untuk menanamkan karakter lebih dalam untuk anak-anak kami. Salah satu visi sekolah kami ialah mewujudkan karakter dan titipan dari pemerintah tentang karakter yang dipadatkan menjadi 5 yaitu: religius, nasionalisme, integritas, mandiri, dan gotong royong.
Selain itu ada kegiatan yang tidak kalah penting yaitu kegiatan sosial yang biasanya setahun 2 kali, saat bulan ramadhan dan menjelang bulan paskah. Anak-anak kami biasanya mengumpulkan apa yang mereka miliki, seperti pakaian layak pakai, makanan bahkan uang, antusias ini bukan pada anak-anak saja, tetapi sudah merambah kepada orangtua-orangtua siswa. Terbukti ketika kami mengumpulkan sumbangan ini, justru para orangtua yang memfasilitasi anak-anak dengan luar biasa sehingga menjelang lebaran, anak-anak kami berbagi ke masjid-masjid terdekat, dimana yg pantas kami beri sumbangan,dan juga saat menjelang paskah mengunjungi gereja-gereja kecil. Dimana ini suatu wujud toleransi, karena semua anak-anak terlibat bukan hanya muslim dan kristen saja”.
Sama dengan Ibu Lisna yang mengajarkan nilai-nilai di sekolahnya, begitupun Ibu Anti (Arianti) sebagai Kepsek Madrasah Islam Merasugun Asowalesi yang mengajarkan nilai-nilai di sekolahnya.
“Kegiatan kami ada di sekolah ada ekstrakurikuler seperti pramuka dan pertanian. Pertanian ini karena mata pencaharian disana itu pertanian. Jadi siswa kami didik untuk bersifat formal maupun yang non formal” (Arianti).
Ibu Lisna menanggapi dan menguatkan pernyataan Ibu Anti bahwa:
“Di Wamena itu tanaman asli itu ubi yg dipanen, karena makanan pokok di Wamena. Selain itu ada sayur-sayuran. Disini terdapat tradisi acara-acara adat untuk kedukaan dan perayaan dengan cara memasak makanan yaitu bakar batu dengan ada ubi yang mendominasi selain sayuran. Dan disini tanaman hasil pertanian asli belum menggunakan pupuk”.
Mendengar kisah inspiratif dari Ibu Lisna dan Ibu Anti, Mas Doni memberikan tanggapan terhadap praktik-praktik baik yang telah dijalankan oleh dua orang kepala sekolah yang luar biasa tersebut. Mas Doni menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
“Betapa ada spirit kegembiraan, kebahagian dalam suatu kebersamaaan dan juga harmoni dalam perbedaan, ini suatu pengalaman yang sangat dibutuhkan anak-anak Indonesia untuk selalu mengalami kegembiraan bersama yang lain, karena saat ini tantangannya bahwa masih banyak kekerasan yang terjadi. Sehingga pengalaman ini menjadi luar biasa karena kegembiraan bapak/ibu guru, anak muridnya yang ceria, semangat kolaborasi satu sama lain. Ini sebagai proses pendidikan yang sangat aktual terlepas dari materi kurikulum yang dipelajari. Kedepan saya harap pengalaman hidup inilah yang akan menjadi bekal untuk bangga hidup dalam kebersamaan, mereka berbeda-beda dan tetap menjaga apa yang baik di tradisi mereka” (Doni Koesoema A.).
Mba Diena juga memberikan tanggapan terkait dengan kegiatan-kegiatan yang ada di SDN Wamena dan Madrasah Islam Marasugun Asowalesi. Mba Diena menyampaikan bahwa kegiatan-kegiatan yang telah dijalankan di dua sekolah tersebut betul-betul menguatkan karakter baik pada anak.
“Anak-anak betul-betul dilibatkan dengan banyak kegiatan yang menguatkan karakter mereka, anak-anak diajarkan berbaur satu sama lain, menghargai satu sama lain, kegiatan-kegiatan interaktif, aktif menggembirakan. Di ujung timur Indonesia kita melihat sekolah yang luar biasa, membanggakan sekali dengan sekolah-sekolah disana. Orangtua harus berkolaborasi dengan sekolah, apa saja yang terjadi disekolah, apa saja yang bisa didukung oleh orangtua agar anak-anak disekolah juga bagus. Ketika orangtua terlibat ikut membangun sekolah, ada kebanggaan, ada harga diri yang lebih pada anak bahwa orangtuaku peduli. Jadi keterlibatan ini mulai dilakukan kebiasan-kebiasaan baik orangtua dirumah dengan membangkitkan kesadaran mereka bahwa mereka tidak sendiri dan harus menerima kondisi orang lain, dan mereka perlu berempati dan menolong serta toleransi, itu hal yang perlu dibangkitkan orangtua di rumah. Ketika itu semua dibangun di dalam rumah, akan membangkitkan spirit Indonesia yang beragam” (Diena Haryana).
Timbul pertanyaan, bagaimana caranya apabila mungkin ada orangtua yang masih belum banyak terlibat terhadap pendidikan anaknya di sekolah, apakah usaha yang bisa dilakukan oelh pihak sekolah /guru-guru untuk melibatkan orangtua?
Merespon pertanyaan tersebut, Mba Diena menjawab:
“Kreatifitas yang perlu dilakukan oleh kepala sekolah agar orang tua berkenan meluangkan waktu hadir di sekolah didalam perayaan, pelatihan yang dilakukan atau yang diberikan oleh sekolah kepada orangtua atau orangtua hadir untuk menerima apa saja kemajuan yang sudah diperlihatkan oleh anak-anak agar kemajuan tersebut bisa meningkat lagi. Kemendikbud sudah melakukan upaya-upaya agar sekolah-sekolah di Indonesia itu melibatkan para orangtua, misalnya hari pertama sekolah betul-betul orangtua harus hadir mengantarkan anaknya, lalu mendengarkan sekolah tersebut seperti apa (orientasi). Sekolah pun diminta untuk mengadakan pentas sekolah, dimana orangtua akan terlibat untuk membantu anaknya tampil. Juga sekolah yang terdapat pelatihan yg dilakuakan dan banyak hal lain yang bisa dilakukan oleh sekolah-sekolah” .
Mas Doni menambahkan:
“Guru di wamena sana luar biasa, karena yang mengantarkan dan memperkenalkan Indonesia disana. Terlebih jikalau sebagai guru yang bukan asli sana sungguh berat, perlu belajar mengenali mereka, karena orang tidak mudah menerima sesuatu yang berbeda, juga untuk berbicara kepada orangtua murid yang mempunyai pandangan sendiri. Jadi apa yang dilakukan mereka sungguh-sungguh menyiapkan pemimpin dari papua untuk Indonesia. Mereka akan terbuka bahwa Indonesia ini tanggungjawab mereka ini yang menjadi tantangan disana, banyak orang yang bukan dari daerahnya memimpin, ini suatu ke-Indonesiaan yang luar biasa, bahwa seluruh rakyat adalah untuk mengembangkan Indonesia dan siapapun bisa memimpin di daerah manapun sejauh mereka punya kepemimpinan dan melayani untuk Indoenesia. Maka satuan pendidikan ini bisa membantu mereka bertumbuh untuk menghayati budaya mereka”.
Saksikan kisah lengkap dari Ibu Lisna dan Ibu Anti di video berikut ini:
Salam damai,
Yayasan SEJIWA
“Service for Peace”