Halo, Sahabat SEJIWA! Dalam artikel series cyberbullying yang lalu, kita sudah bahas mengenai apa sih cyberbullying itu. Di seri yang kedua, kita akan bahas lebih lanjut mengenai siapa saja yang terlibat dalam cyberbullying dan apa dampak buruk dari cyberbullying. Yuk, kita simak penjelasannya!

Pertama-tama, kita mau tanya, apakah Sahabat SEJIWA pernah melihat akun-akun di medsos yang sering komentar hal-hal negatif di postingan artis terkenal? Bahkan sampai artisnya harus membalas komentar itu supaya “berantem online” ini berhenti.

Atau Sahabat SEJIWA pernah mengalami sendiri kejadian seperti di atas? Mungkin ketika Sahabat SEJIWA melihat lagi postingan yang dikomentari negatif, Sahabat SEJIWA merasa sedih, kesal, atau bahkan berniat untuk menghapus postingan itu. Padahal sebenarnya postingan itu nggak menyinggung pihak manapun.

Nah, sebenarnya siapa saja sih yang terlibat dalam kasus cyberbullying?

Dalam konteks bullying, baik online maupun offline, ada tiga pihak utama yang terlibat: Pelaku, Korban, dan Bystander. Pelaku (Bully) adalah pihak yang melakukan bullying kepada orang lain. Bentuk cyberbullying yang biasanya dilakukan adalah memberikan komentar negatif yang berupa ancaman, ejekan, atau rumor tak berdasar (Huang & Chou, 2010). Tindakan yang dilakukan pelaku bisa beragam karena dipengaruhi oleh beragam faktor, seperti tipe kepribadian, usia, status sosial, jenis kelamin, lingkungan keluarga dan pergaulan, atau faktor lainnya.

Korban (Victim) adalah pihak yang mengalami berbagai bentuk cyberbullying. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa cyberbullying yang dialami korban ini dapat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan mental maupun fisik dalam jangka panjang atau pendek (Kwan, Dickson, Richardson, MacDowall et al., 2020). Selain itu, korban bisa saja merupakan orang asing atau orang yang dikenal oleh pelaku.

Berbeda dengan kasus bullying tradisional (langsung), sebenarnya tidak ada kriteria khusus siapa yang berpotensi menjadi korban dalam cyberbullying. Artinya, siapa saja bisa jadi korban. Meskipun beberapa penelitian masih saling pro-kontra mengenai apakah korban cyberbullying juga dipengaruhi oleh jenis kelamin (laki-laki dan perempuan).

Sedangkan, Bystander adalah pihak yang menyaksikan tindakan cyberbullying, terlepas dari sikap mereka yang pasif atau aktif. Kalau dalam ranah online, kecenderungan seseorang menjadi bystander itu ternyata cukup tinggi loh! Secara lebih detail, peran bystander akan dibahas di seri artikel selanjutnya ya!

Sampai saat ini, peran sebagai pelaku dan korban sebenarnya masih cukup abu-abu karena internet merupakan dunia yang sangat luas dan punya ciri khas berupa anonimitas. Mereka yang masuk dalam internet bisa saja menggunakan identitas asli, bisa saja tidak. Akan sulit menentukan siapa yang ada dibalik gawai, ketika ia aktif di dunia maya dengan menggunakan akun-akun palsu. Akibatnya, bisa saja seseorang yang pernah mengalami bullying di dunia nyata, beralih peran menjadi pelaku bullying secara online (Alisah & Manalu, 2018). Sebaliknya, seseorang yang pernah melakukan bullying di sekolahnya, bisa saja menjadi sasaran bullying online di medsos yang dimilikinya.

Berkaitan dengan itu, para peneliti menambahkan satu pihak lagi dalam cyberbullying. Bully-Victim (Pelaku-Korban) adalah mereka yang memiliki dua peran, sebagai pelaku maupun korban (Balakrishnan, 2018). Nah, kemunculan double-role ini bisa juga jadi salah satu bukti bahwa bullying itu, di ranah apapun, merupakan siklus yang sulit untuk diputus. Korban bisa jadi pelaku, pelaku bisa jadi korban (Gámez-Guadix, Gini, & Calvete, 2015).

Terus, apa sih dampak cyberbullying buat pihak-pihak yang terlibat?

Balakrishnan (2018), dalam penelitiannya terhadap partisipan yang berusia 20-an, menjelaskan bahwa dampak yang dialami oleh berbagai pihak yang terlibat dalam cyberbullying dibedakan menjadi dua reaksi: tindakan dan emosi. Reaksi berupa tindakan diartikan sebagai hal yang dilakukan setelah seseorang terlibat dalam cyberbullying. Sedangkan, reaksi berupa emosi berkaitan dengan apa yang dirasakan oleh seseorang setelah mengalami cyberbullying.

  1. Pelaku

Dalam penelitian ini, 93 orang mengaku pernah menjadi pelaku. Ternyata, sebagian besar pelaku cyberbullying merasa menyesal (63%) dan malu (54.8%) atas tindakannya. Mereka juga merasa kasihan (50.5%) terhadap korban. Sayangnya, pelaku tidak merasa sedih (47%) atau bahkan tidak melakukan apa-apa (63.4%). Hasil ini juga didukung oleh penelitian Campbell, Slee, Spears, Butler, dan Kift (2013), yaitu siswa yang pernah menjadi pelaku cyberbullying tidak merasa bahwa tindakan yang mereka lakukan ini adalah tindakan yang kejam. Mereka merasa tindakan tersebut tidak berdampak apapun pada korban. Hal ini kemungkinan terjadi karena kurangnya empati terhadap korban.

Meskipun demikian, sebagian besar pelaku meminta maaf dan menghapus komentar negatif yang diberikan kepada korban. Sebagian lain, tidak memberitahu siapapun mengenai bullying yang dilakukan. Salah satu faktor yang berkontribusi bagi hal ini adalah usia. Partisipan sudah memasuki usia dewasa. Di usia ini, mereka dianggap sudah menjadi individu yang bertanggung jawab atas tindakannya. Nah, untuk melindungi reputasinya, bisa saja mereka memutuskan untuk tutup mulut dan membiarkan apa yang sudah terjadi. Toh, ini di dunia maya.

Wah, semoga Sahabat SEJIWA tidak ada yang seperti ini ya.

  1. Korban

Sebanyak 216 partisipan mengaku menjadi korban cyberbullying. Emosi yang paling banyak dirasakan oleh korban adalah sedih. Mereka juga merasa marah, depresi, takut, malu, menyalahkan dirinya sendiri, dan merasa sendirian.  Emosi negatif, seperti rasa sedih dan depresi bisa mengarah pada gangguan kesehatan, sedangkan rasa marah bisa saja mendorong korban untuk balas dendam. Hal lain yang memprihatinkan adalah 39% korban pernah memiliki pemikiran untuk bunuh diri (Balakrishnan, 2018).

Tidak hanya dalam penelitian tersebut, Alhajji, Bass, dan Dai  (2019) melakukan penelitian terhadap 15.465 remaja Amerika korban cyberbullying dan menemukan hasil yang sama; 60% mengalami gejala depresi, 40% mengalami pemikiran untuk bunuh diri, dan 30% sudah pernah membuat perencanaan untuk bunuh diri. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa perempuan lebih rentan mengalami pemikiran bunuh diri, sedangkan tingkat kecenderungan laki-laki untuk merencanakan bunuh diri lebih tinggi. Hal ini sebenarnya menunjukkan betapa pentingnya program pencegahan bullying diadakan sebelum banyak orang yang mengalami dampak buruknya. Meskipun demikian, para korban telah menceritakan apa yang dialaminya kepada orang terdekat (orangtua, teman, pihak berwenang). Mereka ternyata juga membela diri terhadap cyberbullying yang dialami. Sayangnya, sebagian kecil mengaku telah balas dendam, meskipun belum diketahui dengan cara apa mereka melakukannya.

  1. Bystander

Dari 1158 partisipan, 675 orang adalah bystander. Setelah melihat cyberbullying di media sosial, mereka merasa marah, sedih, serta merasa kasihan dengan korban. Sisi positifnya adalah sebagian besar bystander memberitahu orang lain mengenai cyberbullying yang dilihatnya, entah bercerita kepada orangtua, teman, atau pihak berwenang. Mereka juga membela korban dan tidak mendukung tindakan pelaku. Sayangnya, sebanyak 40.1% partisipan yang mengaku sebagai bystander ini tidak melakukan apa-apa kemungkinan karena merasa takut (47.2%) dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Akhirnya, mereka bersifat pasif (Balakrishnan, 2018).

  1. Bully-Victim

Dari penelitian Balakrishnan (2018), ternyata partisipan yang bertindak dengan double-role ada 174 orang. Hal ini membuktikan bahwa memang kasus bullying itu merupakan siklus yang tak ada habisnya. Emosi yang paling dirasakan oleh mereka adalah menyesal atas tindakan, marah dengan dirinya, serta merasa kasihan dengan korban. Mereka juga mengalami emosi negatif yang sama seperti korban (sedih, malu, depresi), meskipun tidak terlalu tinggi tingkatnya.

Reaksi berupa tindakan yang dilakukan oleh bully-victim adalah membela diri, menghapus komentar-komentar negatif yang mereka berikan, serta memberitahu pengalamannya kepada orang lain. Tindakan ini sebenarnya ingin menunjukkan bahwa mereka yang berperan ganda dalam cyberbullying juga merasakan penyesalan sehingga mau untuk mengubah sikap.

Nah, kalau disimpulkan, dampak umum yang dialami pihak-pihak yang terlibat dalam cyberbullying adalah emosi negatif (sedih, depresi, marah, malu, menyesal, pemikiran bunuh diri). Meskipun demikian, mereka juga tetap melakukan tindakan berupa bercerita kepada orang yang dipercaya, berusaha membela diri, dan memutuskan untuk menghapus komentar-komentar buruknya. Sebagai tambahan, Alisah dan Manalu (2018) menjelaskan bahwa remaja di Indonesia yang pernah mengalami cyberbullying, mengalami trauma yang membekas mengenai peristiwa itu; merasa takut, tidak aman, dan emosi negatif; serta mengalami penurunan performa akademik.

***

Wah, ternyata dalam kasus cyberbullying, banyak juga ya pihak-pihak yang terlibat. Ada pelaku, korban, bystander, bahkan ada yang berperan ganda (bully-victim).

Semua pihak yang terlibat dalam cyberbullying akan merasakan dampak buruk yang mungkin mengganggu kehidupan mereka. Memang, sih, sebagian besar penelitian lebih berfokus pada dampak yang dialami korban. Meskipun demikian, berdasarkan paparan di atas, pelaku dan bystander pun merasakan dampaknya.

Pada intinya, bullying baik online maupun langsung, sama-sama memberikan hal buruk bagi kehidupan kita. Oleh karena itu, yuk mulai sekarang, kita sama-sama saling jaga dan berhati-hati dalam berkegiatan di dunia maya! Sadari juga segala kegiatan di dunia maya itu akan meninggalkan jejak, yaitu jejak digital. Jadi, tingkah laku di dunia maya, harusnya juga memperhatikan etika yang sama seperti tingkah laku kita di dunia nyata.

Sampai jumpa di seri selanjutnya!

 

Oleh: Tresha Utami Hanggarini

 

Referensi

Alhajji, M., Bass, S., & Dai, T. (2019). Cyberbullying, mental health, and violence in adolescents and associations with sex and race: Data from the 2015 Youth Risk Behavior Survey. Global pediatric health, 6, 2333794X19868887. https://doi.org/10.1177/2333794X19868887

 

Alisah, L., & Manalu, S. R. (2018). Studi fenomenologis memahami pengalaman cyberbullying pada remaja. Interaksi Online, 6(4), 448-459. Diakses dari https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/interaksi-online/article/view/21946

 

Balakrishnan, V. (2018). Actions, emotional reactions and cyberbullying – From the lens of bullies, victims, bully-victims and bystanders among Malaysian young adults. Telematics and Informatics, 35(5), 1190–1200.

Campbell, M. A., Slee, P. T., Spears, B., Butler, D., & Kift, S. (2013). Do cyberbullies suffer too? Cyberbullies’ perceptions of the harm they cause to others and to their own mental health. School Psychology International, 34(6), 613–629. doi:10.1177/0143034313479698

Gámez-Guadix, M., Gini, G., & Calvete, E. (2015). Stability of cyberbullying victimization among adolescents: Prevalence and association with bully–victim status and psychosocial adjustment. Computers in Human Behavior, 53, 140–148. doi:10.1016/j.chb.2015.07.007

Huang, Y., & Chou, C. (2010). An analysis of multiple factors of cyberbullying among junior high school students in Taiwan. Computers in Human Behavior, 26(6), 1581–1590. doi:10.1016/j.chb.2010.06.005

Kwan, I., Dickson, K., Richardson, M., MacDowall, W., Burchett, H., Stansfield, C., Brunton, G., Sutcliffe, K., & Thomas, J. (2020). Cyberbullying and children and young people’s mental health: A systematic map of systematic reviews. Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking, 23(2). https://doi.org/10.1089/cyber.2019.0370