SIBERKREASI CLASS SMART PARENTING
Episode #10 “Mengembangkan Potensi Anak Menuju Sukses”
Sabtu, 04 Juli 2020

eps 10 Host : Mira Sahid

Moderator : Diena Haryana (Yayasan Sejiwa)

Narasumber :

 

 

Pegantar Bu Diena :

Peran orang tua dalam mengembangkan potensi anak adalah suatu keniscayaan. Orang tua harus terus menerus mengasah dirinya agar bisa membantu anak mengembangkan potensinya secara maksimal. Orang tua perlu menjadi ideal di mata anak. Namun, permasalahannya banyak orang tua yang tidak memiliki pengetahuan maupun cara-cara kaya untuk mengembangkan potensi anaknya. Oleh karena itu, perlu peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya arti orang tua sebagai pendidik yang pertama dan utama, selain sekolah dan masyarakat.

Pada program Smart Parenting Episode 10 kali ini, Siberkreasi X Yayasan Sejiwa mengundang Najeela Shihab atau yang biasa disapa Mbak Ela. Beliau merupakan inisiator Rangkul (Relawan Keluarga Kita) yang saat ini sudah ada di 101 titik kabupaten di seluruh Indonesia. Rangkul sudah aktif sejak tahun 2015 dalam menyebarkan mindset bahwa pemangku kepentingan utama dalam mengajarkan anak adalah orang tua. Oleh karena itu, orang tua juga perlu belajar. Rangkul menggunakan prinsip cinta dalam pengasuhan anak yang dikembangkan berdasarkan 3 kurikulum, yaitu hubungan reflektif, disiplin positif, dan belajar efektif.

Tidak ada orang tua yang sempurna. Oleh karena itu, orang tua perlu belajar lagi untuk mencintai anak dengan lebih baik.” (Najeela Shihab)

Mbak Ela menjelaskan bahwa dalam pengasuhan anak, terdapat tahapan perkembangan dan tantangan perkembangan. Hal yang membuat anak berkembang secara utuh adalah ketika dia berhasil melewati tantangan perkembangan ini. Beberapa tantangan perkembangan sesuai dengan level usia anak tersebut, di antaranya :

Pada usia ini, anak mulai membangun rasa percaya dengan lingkungannya dan mengembangkan kekuatan emosi dengan pengasuhnya. Pada tahapan ini, orang tua bisa mulai dengan menyusui untuk membangun kedekatan serta menerapkan pola disiplin atau regulasi anak bukan dengan hukuman yang dapat menimbulkan emosi negatif pada anak.

Pada usia ini, anak sedang banyak eksplorasi, ia mulai menumbuhkan kepercayaan diri dan mengasah keahliannya. Pada tahapan ini, orang tua perlu memahami kebutuhan anak, memfasilitasi otonomi anak, dan memberikan kesempatan sosialisasi yang lebih besar.

Pada usia ini, anak belajar merasa mampu melakukan sesuatu, mengetahui kelebihan dan kelemahan diri, lebih mandiri dan mulai belajar commit dengan tujuan. Pada tahapan ini, orang tua diharapkan mampu membantu eksplorasi, memberi kesempatan anak untuk gagal, kalah, dan mempunyai toleransi terhadap frustasi dan mendampingi anak untuk belajar mencoba lagi.

Pada usia ini, anak belajar mengendalikan emosi, mempunyai jarak yang pas dalam hubungan dengan orang tua, tidak terlalu tergantung namun tetep merasakan kelekatan, dan belajar membentuk identitas diri yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan pertemanan. Pada tahapan ini, orang tua dapat membantu anak membentuk lingkaran pertemanan dengan nilai dan tujuan yang sama.

Sering kali banyak orang tua yang kurang memahami tahap perkembagan anak. Hal ini kadang membuat orang tua menjadi overexpectation (memiliki ekspektasi yang berlebihan) pada anak seperti pada remaja untuk mengambil keputusan sendiri padahal sebetulnya anak masih membutuhkan pendampingan orang tua. Di sisi lain, orang tua juga underexpectation (memandang rendah kemampuan anak), misalnya anak kelas 1 yang masih dibantu untuk berpakaian padahal kemandirian dan tanggung jawab anak harus sudah mulai terbentuk.” (Najeela Shihab)

Dalam pemaparannya, Mbak Ela juga menjelaskan salah satu fenomena yang menarik, yaitu saat ini masa remaja muncul lebih awal namun berakhir lebih lama karena pengaruh lingkungan, dan sosial media. Kedewasaan yang idealnya muncul pada masa remaja akhir sekitar usia 18 tahun, saat ini biasanya baru muncul pada usia 20-an. Ini biasa terjadi karena orang tua terlalu melindungi, jadi anak tidak merasa percaya diri dan tidak mempunyai kompetensi. Oleh karena itu, intensi yang super baik dan cinta luar biasa bukan berarti sudah cukup dalam pengasuhan anak. Kadang masih kita temui orang tua yang menghukum anak dengan kekerasan karena niat baik agar anaknya patuh dan baik. Itu bisa menjadi cinta yang bahaya karena melanggar hak anak. Ada pula cinta tak bermakna misalnya dengan cara anak dimanja diberi yang dia mau padahal bukan yang dia butuhkan. Jadi orang tua perlu mengetahui cara mencintai yang lebih baik dan lebih tepat.

Mbak Ela membagikan tips tentang prinsip cinta dengan taraf yang sesuai dalam pengasuhan anak, yaitu :

Pengasuhan ini perlu dilihat sesuai dengan konteks waktu dan juga karakteristik anak. Orang tua tidak bisa menerapkan pola asuh yang sama seperti pola asuh pada zamannya. Orang tua perlu banyak berefleksi dan melihat tujuan jangka panjang dalam pengasuhan anak bukan sebatas tujuan harian.

Dalam hal ini, orang tua perlu memiliki kepercayaan bahwa anak bisa melakukan sesuatu kalau ia diberi kesempatan untuk membuktikan. Ketika orang tua terlalu banyak melarang anak mencoba sesuatu, hal itu justru bisa membuat anak menjadi tidak berani mengambil resiko.

Orang tua perlu memahami bahwa krisis keluarga, anak berbuat salah, pasangan tidak selalu memenuhi eksepktasi, masalah dengan orang tua atau mertua merupakan suatu keniscayaan. Orang tua perlu menerima emosi dan dinamika keluarga. Wajar apabila anak melakukan ‘drama’ ketika berbuat salah karena ia masih dalam tahap berkembang untuk belajar memberi respon yang tepat. Ketika orang tua merespon dinamika keluarga dengan emosional dan dramatis, ini hal ini bisa menjadi lingkaran emosi yang negatif pada keluarga.

Orang tua perlu melihat kesalahan sebagai proses belajar. Tidak ada istilah ‘game over’ dalam pengasuhan anak dan kita selalu punya kesempatan untuk memperbaiki diri kita dalam mengendalikan emosi, meluangkan waktu untuk anak, dan lan-lain.

Perlu adanya humor dan permainan dalam keluarga. Anak, terutama remaja, bisanya membutuhkan keseruan bersama keluarga. Katika hal ini tidak didapatkan, ia bsisa terlalu banyak mencari hal seru di tempat lain. Jadi, selain komitmen dan kedekatan, perlu ada unsur fun juga di dalam keluarga.

 

Profil Anak Sukses

Profil anak sukses dapat dimulai dengan membuat tujuan belajar. Terkadang definisi sukses sering berubah karena dunia yang penuh dengan ketidakpastian sehingga banyak hal baru yang menuntut anak untuk adaptif. Anak perlu punya banyak pengalaman untuk dicoba dan mau untuk selalu belajar.”

Mbak Ela menjelaskan bahwa tujuan belajar dapat dicapai dengan menumbuhkan kompetensi masa depan melalui tiga hal, yaitu kemerdekaan belajar (anak belajar berkomitmen, mandiri, dan reflektif), kemerdekaan berkolaborasi (anak dilatih untuk bekerja sama, komunikatif, dan cerdas), serta kemerdekaan berkarya (anak diajarkan untuk berorientasi pada tindakan, berprinsip, dan inovatif).

Dalam pemaparannya, Mbak Ela juga menjelaskan bahwa dalam proses pengasuhan anak, terdapat tiga tahapan, yaitu eksplorasi (masa di mana orang tua memberi kesempatan pada anak untuk mencoba banyak hal, bukan hanya pengetahuan tapi juga pengalaman langsung); pendalaman (masa di mana orang tua mulai memfasilitasi anak untuk mendalami apa yang ia suka, melatih anak belajar untuk memiliki komitmen dan target pribadi); dan kemahiran (masa di mana orang tua melihat apakah anak mendalami sesuatu sesuai dengan pilihannya sendiri atau jutsru dari faktor luar diri).

Dua poin penting dalam profil anak sukses di antaranya adalah komitmen dan kerja sama. Untuk membentuk anak yang bisa berkomitmen dan menjadi mahir dengan suatu bidang, orang tua bisa melibatkan anak untuk membuat target yang ia tetapkan untuk dirinya sendiri. Anak dilatih untuk mengenali apa yang menjadi tujuannya dan menyadari bahwa tujuan itu merupakan hal yang penting. Ketika kita menyadari bahwa apa yang kita lakukan itu penting, itu bisa membuat kita terhindar dari rasa malas. Sementara untuk membentuk karakter kerja sama anak perlu dikenalkan dahulu bahwa orang itu beragam, kecerdasan dan minatnya juga beragam. Anak diberi kesempatan bekerja sama dan dibawa ke lingkungan pergaulan dengan orang yang memiliki karakteristik berbeda. Anak juga perlu diajak berdialog tentang isu bersama, seperti pentingnya menjaga ekosistem, isu anti-korupsi, sehingga anak tidak hanya berfokus dengan pencapaian dirinya sendiri. Hal ini tentunya juga butuh keteladanan, bukan sekadar dari visi misi lembaga pendidikan, namun dari yang anak lihat dari orang tua, guru, dan publik figur di sosial media sebagai sumber belajar.

Semua murid semua guru. Kita semua jadi murid dan guru di lingkungan kita. Orang dewasa mempunyai tanggung jawab lebih besar sebagai guru terutama untuk anak kecil yang sedang belajar mengobservasi dari lingkungannya.” (Najeela Shihab)

 

Kesimpulan Bu Diena :

Eksplorasi menjadi kunci dalam parenting, yaitu ketika orang tua memberikan kesempatan anak untuk mengekslorasi banya hal. Ketika proses eksplorasi ini baik, anak merasa tangguh dan dipercaya. Ada koneksi dengan orang tua melalui anak diakui dan dikembangkan potensinya. Selanjutnya anak akan mulai mendalami minatnya, lalu didukung dan didorong oleh orang tua, setelahnya baru kemahiran akan muncul. Hal inilah yang bisa mendorong anak menjadi suskes. Setiap anak bisa memiliki kehebatan yang berbeda sehingga jangan sampai kita terlalu banyak membandingkan satu anak dengan anak yang lainnya. Di sisi lain, juga keteladanan menjadi hal yang penting. Orang tua bisa memulai hal ini dari hal-hal kecil seperti menepati janji untuk pulang dan meluangkan waktu untuk anak. Hal kecil yang akan dilihat dari orang tua membuat anak percaya bahwa manusia layak dipercaya sehingga ada koneksi dengan keluarga.

Tuhan memberikan kita hadiah yang hebat yaitu keluarga yang tidak bisa dihargai dnegan apapun. Jangan sampai kita menyesal karena ada momen dalam hidup anak kita yang tidak kita isi dengan sebaik-baiknya.” (Diena Haryana)