Workshop Nasional

Upaya Penanganan Bullying : Ciptakan Sekolah Damai (SEMAI)

Jakarta, 17 Mei 2008 –  ”Membuat jaringan antar sekolah dan penerapan sistem anti bullying,”  dua buah langkah  yang diharapkan dapat  mengurangi tindak “bullying” (atau “penggencetan”) di sekolah-sekolah. Kedua langkah tersebut terungkap dalam workshop nasional anti bullying ke 3 bertemakan ”Berbagai Upaya Penanganan Bullying: Laporan Riset tentang Bullying di 3 kota dan Penerapan Sistem Anti Bullying di SMA 82 dan 103” yang diadakan oleh Yayasan Semai Jiwa Amini (SEJIWA) pada Sabtu (17/5) di Hotel JW Marriot Jakarta.  Workshop ini didukung oleh GE, GE Volunteers, Exxon Mobil, Business Dynamics, Plan International dan JW Marriot  dan dihadiri oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan Dr Meutia Farida Hatta.

Tidak kurang dari 400-an peserta yang berasal dari perwakilan sekolah, orang tua murid, siswa, dan perwakilan institusi pendidikan nasional dan internasional hadir dalam workshop nasional yang diadakan sejak pagi hingga sore hari. Workshop kali ini diisi oleh pembicara dari berbagai kalangan dan profesi mulai dari Dinas Pendidikan, Psikolog, LSM, Kepala Sekolah hingga mereka yang pernah dan masih berkecimpung di dunia media. Menurut Ketua SEJIWA Diena Haryana, ”Workshop ini bertujuan meningkatkan kepedulian terhadap masalah bullying di sekolah karena dampak-dampaknya yang amat buruk bagi anak-anak kita. Workshop ini juga mendorong terciptanya sistem anti bullying yang dapat menekan tindak bullying di sekolah-sekolah.” Dan dengan dipaparkannya hasil penelitian mengenai gambaran bullying di sekolah-sekolah yang berada di Jakarta, Jogjakarta dan Surabaya, maka diharapkan banyak pihak ikut tersadar dan mau mengambil peran sebagai agen perubahan hingga tercipta sekolah yang damai di Indonesia, ujar Diena lagi.

“Kami sangat mendukung Yayasan SEJIWA karena pentingnya isu ini dalam dunia pendidikan. Dukungan kami terhadap pendidikan di Indonesia tidak terbatas pada beasiswa GE Scholar-Leader saja, tapi juga terhadap isu anti-bullying ini serta peranserta para karyawan GE yang menyumbangkan waktu dan tenaganya sebagai sukarelawan di setiap seminar anti-bullying selama tiga tahun terakhir ini,” demikian Presiden GE di Asia Tenggara, Stuart Dean yang menghadiri seminar ini.

Group rock band terkenal ”Seurieus Band” kembali tampil dengan membawakan lagu ”Anti-Bullying” yang lirik lagunya ditulis oleh Diena Haryana. Ini adalah tahun kedua bagi grup band yang beranggotakan 6 personil ini ikut aktif dan terjun langsung dalam mensosialisasikan gerakan Anti-bullying. Sejak tahun 2006, Seurieus Band berkomitmen dalam memberikan motivasi kepada kepada para peserta dan anak-anak sekolah untuk menjauhi tindakan bullying.

Bullying

Istilah  bullying  belum begitu memasyarakat di Indonesia, kendati fenomena bullying telah lama menjadi bagian dari dinamika kehidupan sekolah di negeri ini. Apa sebenarnya Bullying? Andrew Mellor dari antibullying network, Univ of Edinburgh mendefinisikannya sebagai: ”Bullying terjadi ketika seseorang merasa teraniaya oleh tindakan orang lain berupa verbal, fisik dan mental, dan ia takut bila perilaku buruk tersebut akan terjadi lagi, dan merasa tak berdaya mencegahnya”

”Bullying merupakan masalah tersembunyi karena masih belum disadari oleh para pendidik dan orang tua murid. Setiap anak harus mendapatkan perlindungan di sekolah dari segala bentuk bullying.  Karena anak korban bullying terancam tumbuh menjadi pribadi yang tidak percaya diri, menderita gangguan jiwa seperrti depresi bahkan bunuh diri. Dan pelaku bullying kemungkinan besar akan terlibat dalam tindak kriminal di kemudian hari,” jelas Meutia Hatta dengan nada prihatin.  Oleh karena itu Meutia sangat mendukung adanya peran pemerintah dalam membuat sistem anti bullying di sekolah-sekolah sehingga dapat tercipta sekolah damai bagi anak didik kita

Dari hasil penelitian SEJIWA, bullying merupakan masalah penting di sekolah-sekolah, sebab di sekolah, bullying muncul dalam berbagai bentuk mulai dari verbal, psikologis hingga fisik. Dan salah satu bentuk bullying yang sekarang mulai bermunculan adalah bullying yang berkaitan dengan peralatan elektronik seperti melalui telepon selular dan internet. Bullying di sekolah dapat dilakukan oleh teman seangkatan, senior, guru ataupun pihak-pihak yang berada di lingkungan sekolah.

Penelitian yang memakan waktu 2 bulan dan melibatkan lebih dari 1500 orang  yang berasal dari 9 SD, 7 SMP dan 10 SMA ini dilakukan dengan menggunakan metode pengisian kuesioner dan Focus Group Discussion (FGD). Yang menjadi responden bukan hanya pelajar tetapi juga guru dan kepala sekolah. Menurut Ratna Djuwita, Psikolog dari Universitas Indonesia yang  memimpin penelitian Bullying di tiga kota tersebut mengatakan ” bullying terjadi di setiap sekolah dengan tingkatan yang bervariasi mulai dari ringan hingga berat. Namun umumnya siswa mempersepsikan bullying yang terjadi di sekitar mereka lebih berat dari pada guru ataupun kepala sekolah mempersepsikannya.”

Menurut Ratna, ada dua kemungkinan mengapa terjadi perbadaan persepsi antara guru dan murid. Pertama, bahwa guru atau pengelola sekolah memang tidak tahu hal tersebut terjadi, atau kemungkinan kedua adalah para guru tidak mau mengakui karena khawatir menurunkan reputasi sekolah.

Melihat kondisi ini, Bagian Kesiswaan Dinas Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI Jakarta, Budiyanto, mengungkapkan sebuah realita yang belum banyak didiskusikan secara luas sebelumnya, yaitu ”Siklus Bullying” dimana terlibat oknum alumni yang dari luar sekolah menggerakkan adik adik kelasnya untuk menuruti apa yang mereka kehendaki dengan cara cara kekerasan. ”Hal ini tak dapat terus menerus dibiarkan bila kita ingin secara sistemik menekan bullying di sekolah-sekolah,” ujarnya.

Pada kesempatan yang sama Bapak Endang dari SMA 82 dan Bapak Budi dari SMA 103 sepakat, bahwa semua guru perlu menunjukkan kesadaran dan kepedulian untuk turut berperan serta membina kegiatan-kegiatan kepengurusan di sekolah yang selama ini hanya dijalankan oleh bagian kesiswaan, sehingga oknum-oknum alumni yang banyak terlibat secara destruktif saat ini dapat dikontrol. Untuk para alumninya sendiri, semua pihak perlu memikirkan apa jalan keluarnya agar mereka memiliki kegiatan-kegiatan yang konstruktif dalam masyarakat, karena biasanya mereka tak meneruskan sekolah, dan tak juga bekerja.

Sementara, Fetty Fajriati dari Komisi Penyiaran Indonesia menekankan agar stasiun TV dan radio tunduk kepada kebijakan-kebijakan yang telah diatur secara formal oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan bukan sekedar membuat acara yang ratingnya tinggi tetapi sarat kekerasan. Karena menurutnya pengaruh media terutama tontonan televisi sangat besar efeknya kepada anak.

Bullying bukan hanya tanggung jawab sekolah, semua pihak harus peduli dan bertanggung jawab untuk menekan tindak bullying.  Jaringan anti bullying yang melibatkan sekolah, pemerintah, psikolog, peneliti, LSM, polisi, media dan para tokoh masyarakat  diharapkan membantu menekan tindak bullying di sekolah untuk mewujudkan sekolah damai (SEMAI). Semoga saja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *